Ilmu :Bebas Nilai atau Tidak Bebas
Nilai
Rasionalisasi
ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descrates dengan sikap skeptic-metodisnya
meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu ( cogitu ergo
sam). Sikap ini berlanjut pada masa Auflakrung, suatu era-yang merupakan usaha
manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya alam.
Persoalannya adalah ilmu-ilmu itu
berkembang dengan pesat apakah bebas
nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana
Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntunan terhadap
suatu kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu
sendiri. Ilmu pengetahuan menolak cam[pur tangan factor eksternal yang tidak
secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga
factor sebagaimana indicator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu
sebagai berikut :
a. Ilmu
harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh ekstensi seperti factor
politis,ideologis,agama,budaya dan unsure-unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Perlunya
kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin kebebasan itu
menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c. Penelitian
ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat
kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh
sosiologi, Weber mengatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga
mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relavan. Weber tidak
yakin ketika para ilmuan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau
menulis mengenai bidang sosila itui, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan
tertentu atau tidak biasa. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan ke dalam
bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani
kepentingan segelintir orang,budaya, maka ilmuan sosial tidak beralasan
mengajarkan atau menuliskan itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu
tidak mempunyaihubungan objektivitas ilmiah.
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan
apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat disatu pihak
objektivitas merupakan cirri mutlak ilmu pengetahuan, sedangkan dipihak lain
subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan
pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.
Tokoh lain Hebernas sebagaimana yang
ditulis oleh Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001) berpendirian teori
sebagai produk ilmiah tidak pernah nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari
pandanagn Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu
pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau objek itu sebenarnya
sudah tersusun secara spontan dan primordial dalam pengalaman sehari-hari.
Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis.
Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak lepas sama sekali
dari kepentingan praktis. Ilmu sejarah dan heurmeneutika juga ditentukan oleh
kepentingan praktis kendati dengan cara yang berbeda. Kepentingannya adalah
memelihara dan memperluas antar manusia dan perbaikan komunikasi. Setiap
kegiatan teoretis yang melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung
kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang yaitu pekerjaan,
bahasa, dan otoritas. Pekerjaan merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam,
bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika, sedangkan otoritas
merupakan kepentinganilmu sosial.
Pendekatan ontologis
Secara
ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada
daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penelaahan
yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman diserahkan ilmu
kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari
sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis
tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini
adalah konsisten dengan asas epistemology keilmuan yang mensyaratkan adanya
verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang
bersifat benar secara ilmiah.
Dalam
kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan
keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia,
merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping
itu, secara ontologism ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat
dogmatic dalam menafsirkan hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia
untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.
Pendekatan Epistemologi
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode,
struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu,
landasan epistemologi memepertanyakan bagaimana proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Apa yang
disebut kebenaran itu sendiri? Apakah
kriterianya? Cara atau teknik atausaran yang menbantu kita dalam mendapatkan
pengetahua yang berupa ilmu.
Landasan
epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada
dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyususn tubuh tubuh
pengetahuan berdasarkan : (a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan
argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumna yang telah
berhasil disusun, (b) menjabarkan hipotesa yang merupakan dedukasi dari
kerangka pemikiran tersebut, (c) melakukan verifikasi terhadap hipotesa
termaksud untuk menguji kebenaran pernyataan secara faktual. (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, hlm.9)
Kerangka
pemikiran yang logis adalah argumentasi yang yang bersifat rasional dalam mengembangkan
penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi
secara objektif dari suatu pernyataan hipotesa terhadap kenyataan faktual.
Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang
terkandung dalam hipotesa. Demikian juga feri vikasifaktul membuka diri
terhadap krikit terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan
hipotesis.Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru
mempunbyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan
cara berpikir kritis. (departemen pendidikan dan kebudayaan, 1984/1985,
halm.91)
Dalam
kaitan dengan moral, dalam proses kegiatan keilmuan setiap upaya ilmiah harus
ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran,
tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentudan hak hidup yang berdasarkan
kekuatan argumentasi secara individual jadi, ilmu merupakan sikap hidup untuk
mencitai kebenaran dan kebohongan
Pendekatan Aksiolgi
Aksiologi
adalah cabang filsafat yang mempelajari
tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi
mempertanyakan untuk apa pngetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ?
bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? bagaimana
kaitan antara teknik, procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral atau professional?.
Pada
dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia.
Dalam hal ini, ilu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam
meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat
manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.
Untuk
kepentingan mausia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun
dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan
pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak mamnfaatkan ilmu
menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi
ras, ideologi, atau agama.