Sabtu, 23 Februari 2013

Ilmu: Bebas Nilai atau tidak bebas nilai



Ilmu :Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descrates dengan sikap skeptic-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu ( cogitu ergo sam). Sikap ini berlanjut pada masa Auflakrung, suatu era-yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya alam.
            Persoalannya adalah ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah  bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntunan terhadap suatu kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak cam[pur tangan factor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga factor sebagaimana indicator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut :
a.       Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh ekstensi seperti factor politis,ideologis,agama,budaya dan unsure-unsur kemasyarakatan lainnya.
b.      Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c.       Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber mengatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relavan. Weber tidak yakin ketika para ilmuan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang sosila itui, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak biasa. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan ke dalam bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan  atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir orang,budaya, maka ilmuan sosial tidak beralasan mengajarkan atau menuliskan itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyaihubungan objektivitas ilmiah.[1]
            Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat disatu pihak objektivitas merupakan cirri mutlak ilmu pengetahuan, sedangkan dipihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.
            Tokoh lain Hebernas sebagaimana yang ditulis oleh Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandanagn Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau objek itu sebenarnya sudah tersusun secara spontan dan primordial dalam pengalaman sehari-hari. Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam  terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Ilmu sejarah dan heurmeneutika juga ditentukan oleh kepentingan praktis kendati dengan cara yang berbeda. Kepentingannya adalah memelihara dan memperluas antar manusia dan perbaikan komunikasi. Setiap kegiatan teoretis yang melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang yaitu pekerjaan, bahasa, dan otoritas. Pekerjaan merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika, sedangkan otoritas merupakan kepentinganilmu sosial. [2]
Pendekatan ontologis
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penelaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemology keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.
Dalam kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologism ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatic dalam menafsirkan hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.
Pendekatan Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan epistemologi memepertanyakan bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Apa yang disebut  kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau teknik atausaran yang menbantu kita dalam mendapatkan pengetahua yang berupa ilmu.
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyususn tubuh tubuh pengetahuan berdasarkan : (a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumna yang telah berhasil disusun, (b) menjabarkan hipotesa yang merupakan dedukasi dari kerangka pemikiran tersebut, (c) melakukan verifikasi terhadap hipotesa termaksud untuk menguji kebenaran pernyataan secara faktual. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, hlm.9)
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara objektif dari suatu pernyataan hipotesa terhadap kenyataan faktual. Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesa. Demikian juga feri vikasifaktul membuka diri terhadap krikit terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis.Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunbyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berpikir kritis. (departemen pendidikan dan kebudayaan, 1984/1985, halm.91)
Dalam kaitan dengan moral, dalam proses kegiatan keilmuan setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentudan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual jadi, ilmu merupakan sikap hidup untuk mencitai kebenaran dan kebohongan
Pendekatan Aksiolgi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari  tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pngetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? bagaimana kaitan antara teknik, procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau professional?. [3]
Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.
Untuk kepentingan mausia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak mamnfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.    


[1] Drs. Surajiyo, “Filsafat Ilmu dan perkembangannya di Indonesia”. (Jakarta:PT Bumi Aksara,2009), hal. 149-150
[2] Drs. Surajiyo, “Filsafat Ilmu dan perkembangannya di Indonesia”. (Jakarta:PT Bumi Aksara,2009), hal.150

[3] Jujun S.Suriasumantri, “Ilmu dalam Perspektif”.(akarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003),cet.16.  hlm.34-35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar